PK GP IAIN Antasari

9 November 2008

Mencoba Tidak Mengulang Sejarah Gie

Filed under: Gerakan, Uncategorized — Tag:, , , — pembebasaniain @ 2:24 pm

soe hok gie

Oleh Reindy Thedja Sukmana

(Ketua Divisi Kaderisasi GEMA Pembebasan Komisariat IAIN Antasari Banjarmasin)


Pendahuluan

Dalam artikel ini, penulis tidak hanya akan membahas sosok seorang Soe Hok Gie. Namun, menjadikan Soe sebagai sebuah titik tolak untuk kemudian beranjak membuka sudut pandang yang lebih luas dan mendalam.

Sekilas Riwayat Soe Hok Gie

17 Desember 1942, Soe Hok Gie dilahirkan. Akrab dipanggil “Soe”, “Hok Gie” atau “Gie”. Anak dari pasangan Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Soe anak keempat dari lima bersaudara. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Pendidikan SMA ditamatkannya di Kolese Kanisius. Selanjutnya ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 19621969. Saat di bangku kuliah, sosoknya sebagai aktivis mahasiswa memang menonjol. Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan ’66 di Bandung. Di mana kerap mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Soe adalah seorang penulis muda yang produktif. Ia dikenal di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan).

Skripsi sarjana mudanya mengangkat perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Riwayat Pergerakan

Masa remaja dan kuliah Soe berjalan di bawah rezim orde lama, yang ditandai dengan konflik antara militer dengan PKI. Juga antara partai politik serta ideologi.

Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak memihak golongan manapun. Meskipun Soe menghormati Soekarno sebagai founding father negara Indonesia, Soe begitu membenci pemerintahan Seokarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak. Soe tahu banyak tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Soekarno. Berdasar itulah dia tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di banyak media. Tak kalah benci Soe dengan bagaimana banyak mahasiswa berkedudukan Senat beromong kosong dengan janji-janji manis, mengedoki usaha mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Soe, tetapi juga memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group berusaha melobi Soe untuk mendukung kampanyenya, disamping musuh-musuh Soe yang begitu bersemangat menggunakan setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.

Indonesia Orde Lama

demonstrasi

demonstrasi

Indonesia 1955, peta politik diwarnai oleh beberapa partai besar. Sekalipun saat itu ada banyak kontestan pemilu, namun yang benar-benar berpengaruh dan memainkan peran sentral hanya beberapa. PNI yang mewakili suara kaum Nasionalis, PKI mewakili suara kaum Komunis, Masyumi dan NU mewakili suara kaum Islam.

Gesekan dalam ranah ideologis antara partai besar ini cukup keras dan terasa. Sebagai contoh, terjadi perang opini antara Masyumi yang mewakili suara umat Islam dan PKI yang mewakili suara kaum Komunis. Dalam tataran politik praktis ada upaya saling geser. Dalam opini juga terjadi baku hantam yang sengit, terlihat antara majalah Hikmah (underbouw Masyumi) dan koran Harian Rakjat (underbouw PKI).

Dalam penerbitannya, tanpa sungkan Hikmah secara terbuka menyatakan permusuhannya dengan Komunisme. Semisal dalam edisi era 1950-an, Hikmah kerap kali menurunkan berita seputar gerakan Komunisme di berbagai belahan dunia. Bukan hanya dalam hal pemberitaan, dalam tataran ideologi kerap kali Hikmah mengulasnya. Sejarah, teori dan tokoh-tokoh Komunisme adalah santapan mingguan bagi para pembaca Hikmah. Hikmah sepuluh tahun sebelum 30 September meletus sudah melihat bahwa Komunisme adalah sebuah ancaman masa depan.

Harian Rakjat-pun tak mau kalah. Kerap kali Hikmah dituding balik sebagai Kontra Revolusi dan Reaksioner. Pendek kata, dua media raksasa ini mewakili dua kutub perang ideologi dengan medan terbuka.

1960 Masyumi dibubarkan. Tokohnya sekaligus sang pemimipin dibui bersama tokoh yang lain. Tuduhannya bukan alang kepalang: Terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)! Hikmah menyebut ini sebagai kemenangan untuk PKI, partai yang selama ini disebut selalu “mengadungadu domba jang memuakkan”.

Pertarungan antara PKI dan Masyumi, apabila dilihat secara substansi tidak bukan adalah karena perbedaan ideologi kedua partai yang memang berseberangan. Apalagi keduanya saat itu memang diisi oleh para ideolog-ideolog handal dan terbaiknya. Dalam PKI ada Aidit, Njoto dan MH Lukman. Sedangkan dalam Masyumi ada M. Natsir, Isa Anshari dan Hamka. Suhu politik Indonesia saat itu betul-betul panas.

Salah satu yang membuat masyarakat dan mahasiswa gerah adalah sikap Soekarno yang tidak tegas terhadap PKI yang semenjak jauh-jauh hari sudah disinyalir akan melakukan coup (pemberontakan). Hal ini dapat tercium dari PKI yang membuat angkatan bersenjata baru yang di sebut angkat ‘bersenjata ke-5’ yakni kaum tani dan buruh dipersenjatai. Tentu ganjil sebuah partai politik mempersenjatai masyarakat.

Sekalipun begitu, ternyata Soekarno tidak berbuat apa-apa terhadap PKI. Ini tentu bisa dipahami, mengingat antara PKI dan Soekarno memiliki kedekatan secara Ideologis dan kepentingan Politis.

Secara Ideologis, mereka memiliki arah ideologi yang sama dan sebangun. Sedangkan secara politis, PKI adalah salah satu partai penyokong loyal pemerintah. Sedangkan Masyumi, karena melihat arah kebijakan Indonesia yang makin “kiri” membuat Masyumi mengambil jarak dengan pemerintah (baca: oposisi).

M.Natsir adalah salah seorang menteri yang paling dipercaya Soekarno. Juga bersahabat baik bahkan sebelum Indonesia merdeka. Namun karena sikap tidak komprominya pada Soekarno, membuat hubungan mereka menjadi dingin dan pada akhirnya pecah. Natsir memilih untuk tidak berkompromi pada pemerintahan Soekarno yang dianggap sudah sangat otoriter dan berkeinginan menjadikan Komunisme menjadi panglima di Indonesia.

Isu yang selama ini hanya berhembus di udara ternyata wujud menjadi nyata dalam 30 September 1965. PKI benar-benar melakukan coup. Sederet jenderal TNI-AD hilang dan dibantai. Sekalipun kemudian dapat dipatahkan. Apa yang selama ini dikhawatirkan akhirnya terjadi juga.

Masyarakat menggerutu, seandainya gerak PKI semenjak jauh hari dibendung, tentulah peristiwa 30 September tidak perlu terjadi. Mereka melihat antara ketidaktegasan Soekarno dalam menindak PKI dan peristiwa 30 September adalah sebagai sebuah mata rantai yang bersambung. Gelombang kemarahan memuara pada PKI dan ketidakpercayaan pada sosok Soekarno.

Dalam perekonomian terjadi inflasi yang menggila. Pada zaman itulah dalam sejarah republik ini untuk pertama kalinya terjadi senering (pemotongan nilai nominal uang). Perekonomian benar-benar lesu dan lemas.

Sosok Soekarno memang seorang yang unik kalau tidak mau dikatakan paradoks. Ia selalu mencitrakan dirinya sebagai seorang modern, demokrat dan progressif. Namun nyatanya saat berkuasa, makin hari ia berubah menjadi sosok seorang penguasa yang diktator dan otoriter. Ke-otoriterannya makin menjadi dengan dicanangkannya Demokrasi Terpimpin. Seorang demi seorang lawan-lawan politiknya -yang sesungguhnya adalah sahabatnya sendiri- dijebloskan ke penjara. Sebutlah macam M.Natsir dan Hamka. Ia berubah menjadi seorang yang tebal telinga pada kritik dan masukan. Membuat kemarahan mahasiswa makin menjadi dan meluap.

Keadaan yang chaos ini menjadi kesempatan emas untuk Soeharto. Dengan bermodalkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang misterius itu, naiklah Soeharto menjadi presiden. Naiknya Soeharto menjadi momen penguburan Orde Lama dan kelahiran Orde Baru.

Indonesia Orde Baru

Awal-awal Orde Baru, rakyat dan mahasiswa menaruh harapan besar pada Soeharto. Ia diharapkan dapat memperbaiki kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang tercabik-koyak. Namun dalam perkembangannya, ternyata Soeharto tak ubah beda dengan pendahulunya.

Dalam bidang ekonomi, Soeharto membuka pintu gerbang untuk Kapitalisme masuk dan menancapkan kuku-kukunya Indonesia. Apabila haluan ekonomi Indonesia yang sebelumnya berkiblat pada Sosialisme maka pada era pak Harto Indonesia ganti kiblat, berkiblat pada Kapitalisme. Dan ini terus-diteruskan oleh para presiden sesudahnya.

Para ekonom yang pro-kapitalisme cetakan barat yang kemudian kerap disebut Mafia Berkley menjadi tim ekonomi presiden. Mereka punya andil besar dalam penggodokan sederet undang-undang dan kebijakan pro asing.

Dalam panggung politik, GOLKAR menjadi raksasa tunggal yang rakus. Ia menjadi partai yang hegemonik. Pemilu hanyalah formalitas belaka kalau tidak mau dikatakan sebuah sandiwara picisan tiap lima tahun sekali. Karena siapa pemenangnya sudah dapat ditebak. Mekanisme politik menjadi macet total. Pak Harto menyebut demokrasi model ini dengan Demokrasi Pancasila.

Mengatasnamakan demokrasi Pancasila Soeharto telah berubah menjadi bak seorang raja. Tambang dan hutan rakyat, tak luput BUMN pun menjadi deret bisnis keluarga cendana.

Dalam situasi ini, nyaris tidak terjadi kontrol dan kritik pada pemerintah. Semua suara dibungkam. Tudingan “ekstrim kiri”, “ekstrim kanan”, “subversif”, “tidak Pancasilais”, “ tidak bisa dibina”, “meresahkan”, kerap jadi pembenaran untuk pembredelan terhadap media. Sekalipun tudingan itu tidak pernah dibuktikan secar fair.

Era itu, negara tampil sebagai penuntut, jaksa sekaligus juga hakimnya. Media yang berseberangan dengan pemerintah, diposisikan menjadi terdakwa “bisu” tanpa pengacara. Sebuah teatrikal persembahan dari rezim diktator yang sedang sakit jiwa!

Keadaan ini tentu saja membuat geram mereka-mereka yang masih punya otak, kritis dan berani. Dalam menghadapi mereka-mereka yang kritis, Soeharto menggunakan tangan besi untuk membungkam suara kritis mereka. Pembunuhan, penghilangan dan penculikan kerap terjadi.

Apabila dalam berita malam TVRI Soeharto menampilkan diri sebagai seorang bapak tua yang santun mengayomi lagi murah senyum, namun pada kenyataannya kerap menebarkan teror untuk rakyatnya sendiri. Sebutlah kasus Penembakan Misterius (PETRUS), peristiwa Tanjung Priok, Talangsari Lampung dan Aceh dengan Daerah Operasi Militer (DOM) –nya; yang lukanya sampai hari ini masih membekas di masyarakat Aceh . Si bapak yang murah senyum ternyata lihai menebar teror.

* * *

Indonesia bagaikan keluar mulut singa masuk mulut buaya. Begitulah kata pepatah lama.

Sebuah Ironi

gie muda

gie muda

Dari lembaran panjang sejarah bangsa Indonesia, Soe Hok Gie turut punya andil menjatuhkan rezim Soekarno. Soekarno yang dianggap sudah terlampau diktator dengan konsep demokrasi terpimpinnya. Ia menjadi seorang yang tebal telinga terhadap orang-orang yang tak setuju dengan konsepnya. “Perselingkuhannya” dengan PKI, Soekarno tambah lagi tak tertahankan untuk segera harus dijatuhkan. Soekarno harus lengser.

Sekalipun tidak pernah secara jelas Soe menaikkan Soeharto, namun sadar atau tanpa sadar ia turut punya andil untuk menaikkan Soeharto. Ia turut andil menguburkan Rezim Orde Lama dan turut andil pula membidani Rezim Orde Baru.

Ironi memang. Sebuah upaya untuk menjatuhkan seorang penguasa tiran namun pada kenyataannya malah menaikan penguasa tiran yang baru. Nyaris tak ubah beda. Sekali lagi, beda gaya namun sama rasa.

Pelajaran Untuk Kita Semua

Perubahan adalah sebuah perpindahan. Perpindahan dari satu kedaan yang buruk pada keadaan yang lebih baik.

Dalam memperjuangkan sebuah perubahan tentu ke arah yang lebih baik menjadi harapan. Tapi kenyataan tidak bisa selalu seideal demikian. Dari sekelumit fakta sejarah diatas kita dapat menarik benang merah, bahwa antara Soekarno dan Soeharto –sekali lagi- hanyalah beda gaya namun –ternyata– sama rasa.

Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal. Diantaranya perubahan antar Orde Lama-Orde Baru terlampau berorientasi pada pergantian person bukan pada sistem. Seolah-olah anggapan, “Yang penting turunkan Soekarno”, menjadi tumpuan. Namun faktor sistem terabaikan.

Kita sepakat bahwa sosok pemimpin memainkan peran sentral dalam sebuah negara. Namun yang juga memiliki peran besar bahkan sentral adalah mekanisme sistem yang digunakan negara tersebut. Manusia dapat mati dan berganti, namun sistem akan terus berjalan dan bekerja secara kontinu sekalipun sang pemimipin sudah mati.

Sistem adalah penggerak sebuah negara. Sistem yang digunakan akan sangat menentukan arah dari setiap kebijakan negara tersebut.

Dalam ekonomi, sistem ekonomi yang digunakan negara tersebut akan sangat menentukan akan condong ke mana arah kebijakan perekonomiannya. Apabila yang dijadikan sebagai kemudi perekonomian adalah sistem ekonomi Neo-Liberal, maka pastilah arah kebijakan ekonominya akan pro investor asing dan abai pada rakyat. Persis seperti Indonesia sekarang.

Dalam politik luar negeri, sistem yang digunakan juga menentukan arah kebijakan luar negerinya dalam tata pergaulan internasional. Apakah menjadi negara pemimpin atau menjadi negara pengekor (baca:pecundang).

Sedemikian pentingnya peran sistem, namun justru ini yang terabaikan dalam setiap perubahan yang terjadi di Indonesia. Bukan hanya dalam era Rezim Orde Lama menuju Orde Baru, namun juga pada pergantian menuju era Reformasi. Maka jangan heran apabila pada sepuluh tahun reformasi kemarin mengemuka anggapan bahwa reformasi telah gagal.

Ini karena setiap perubahan hanya terkonsentrasi pada perubahan person. Kita kurang meluaskan sudut pandang kita, bahwa yang terjadi di Indonesia sesungguhnya bukan sekedar human error namun yang terjadi adalah sistem error.

Apabila sistem adalah ibarat sebuah mobil, maka pemimipin adalah ibarat seorang sopir. Indonesia adalah bagaikan sebuah mobil bobrok yang rusak. Siapapun pemimpinnya, sesoleh dan sebaik apapun akhlak orang itu, dengan sistem yang digunakan sekarang hasilnya akan sama saja. Krisis multidimensi yang saat ini menyergap Indonesia adalah karena penerapan sistem Kapitalisme-Sekuler dalam semua aspek.

Apabila sistem Kapitalisme Sekuler yang saat ini digunakan sudah terbukti gagal lantas apa penggantinya?

Islam sebagai Solusi

Ketua Umum Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia M Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin (3/3) mengungkap hasir survey yang cukup mengejutkan. Mengutip survei yang dilakukan aktivis gerakan nasionalis pada 2006, sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.

Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup. “Hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara,” katanya.

Penelitian itu dilakukan di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Perguruan-perguruan tinggi tersebut selama ini dikenal sebagai basis gerakan politik di Indonesia (Kompas 04/03/2008 )

Meskipun survey tidak selalu bisa dipastikan 100% mewakili realita yang sesungguhnya, namun ini mencerminkan semakin kuatnya keinginan mahasiswa untuk menegakkan syariah Islam.

Kecenderungan untuk kembali kepada syariah sesungguhnya bukan cuma fenomena lokal. Sebuah polling yang dipublikasikan pada bulan April 2007, yang hasilnya terkesan ditutup-tutupi. Polling itu, yang dilakukan atas pengawasan Universitas Maryland, menegaskan riset yang dilakukan sebelumnya pada masalah seperti terdapat pada www.css-jordan.org. Polling tersebut yang dilakukan di empat negara muslim (Mesir, Maroko, Pakistan, Indonesia) dengan mayoritas penduduk kaum muslim menunjukkan beberapa hal yang antara lain: Dukungan bagi penerapan Hukum Syariah di Negara-negara Islam; penyatuan dengan Negara-negara lain di bawah naungan Khilafah; penentangan atas pendudukan dan kebijakan Barat pada umumnya; penentangan atas pemaksaan diberlakukannya nilai-nilai Barat di tanah kaum Muslim; penentangan atas penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil. Bagi beberapa isu, tingkat konsensus bagi ide-ide itu melebihi 75%.

Jadi dapat dikatakan bahwa fenomena kembali pada Syariah adalah sebuah trend global saat ini.

Keinginan untuk kembali pada Syariah ini sesuatu yang wajar saja dan dapat dengan mudah dipahami. Kondisi negeri kaum muslim yang menyedihkan salah satu faktornya. Semua negeri kaum muslimin adalah negeri yang kaya. Tambang, pertanian, hutan dan lainnya semua berlimpah ruah. Namun, nyatanya justru kaum muslimin sendiri yang miskin. Ironi; miskin di negeri kaya.

Penindasan yang dilakukan Barat di negeri-negeri Islam juga semakin mendorong hal ini . Di Irak, diperkirakan 1 juta penduduk sipil meninggal dunia pasca pendudukan AS dan sekutunya. Pembantaian juga terjadi di Afghanistan yang tak kalah memilukan nurani umat Islam. Belum lagi , secara sistematis penduduk sipil Palestina, diteror dan dibantai oleh negara Zionis Israel. Sementara penguasa negeri Islam hanya diam seribu bahasa.

Penghinaan terus menerus yang dilakukan Barat terhadap Islam juga memperkuat keinginan untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Berulang-ulang Rosulullah saw dihina oleh media Barat sementara pemerintah Barat tidak banyak berbuat apa-apa atas nama kebebasan berpendapat. Penghinaan terhadap Al Qur’an juga terjadi di penjara-penjara yang menjadi tempat penyiksaan dan penghinaan terhadap umat Islam atas tuduhan terorisme.

Semua penderitaan di atas diyakini akibat penerapan Kapitalisme di negeri-negeri Islam. Penerapan syariah Islam diyakini akan menyelesaikan persoalan akibat ideologi Kapitalisme ini. Sementara, kebutuhan akan Khilafah Islam sendiri merupakan konsekuensi langsung dari kewajiban menerapkan syariah Islam. Tidaklah mungkin syariah Islam bisa ditegakkan secara menyeluruh tanpa sebuah institusi negara.

Kerinduan terhadap Khilafah juga muncul karena terpecah belahnya umat Islam saat ini. Khilafah akan menyatukan kembali umat Islam seluruh dunia. Dari ufuk barat sampai timur. Sebuah persatuan global entitas manusia yang terdiri dari bermacam ras, etnik, bahasa dan golongan, namun semua punya tujuan yang satu; Ridha Illahi dan diikat dalam ikatan yang satu; Aqidah Islam.

Keberadaan pemimpin negeri-negeri Islam yang tak hirau terhadap rakyatnya, tidak melindungi umat Islam, bahkan lebih memilih menjadi agen-agen negara Kapitalis makin membuncahkan kesadaran akan kewajiban Khilafah ini.

Namun, ditengah arus kembali pada Syariah dan Khilafah ini, para politikus yang menyatakan dirinya nasionalis sekuler menghembuskan isu bahwa kembali pada Syariah dan Khilafah adalah akan menjadi pemicu disintegrasi. Atas nama Nasionalisme, Syariah dan Khilafah harus ditolak.

Ironisnya mereka yang mengklaim nasionalis sekuler justru yang memperkokoh penjajahan terhadap Indonesia. Lihat, mereka yang mengklaim nasionalis sekuler, justru membiarkan kekayaan alam Indonesia di rampok oleh asing dengan keluarnya UU yang pro-liberal seperti UU Migas, UU SDA, UU Kelistrikan, UU penanaman modal. Mereka juga getol menyuarakan liberalisasi, privatisasi, dengan alasan globalisasi. Padahal semua ini akan menyebabkan kekayaan alam Indonesia dirampok oleh asing. Sebuah upaya legalisasi Neo-Imperialisme yang dilakukan anak bangsa sendiri.

Mereka mengklaim nasionalis yang memperhatikan rakyat. Mereka teriak save our nation, tapi kenyataannya, merekalah pendukung kebijakan pro IMF. Sebutlah macam menaikkan BBM, mengurangi subsidi terhadap kesehatan dan pendidikan yang semuanya membuat penderitaan rakyat tambah sempurna. Mereka juga berbusa-busa di mulut demi mempertahankan hutang luar negeri, meskipun telah terbukti membuat Indonesia didikte oleh negara pendonor.

Mereka mengkalim nasionalis yang menjaga keutuhan negara, tapi justru membiarkan asing mengancam keutuhan negara. Mereka membiarkan LSM asing membangun disintegrasi atas nama HAM. Mereka juga membiarkan negara-negara penjajah yang memiliki niat jahat, campur tangan untuk menyelesaikan persoalan Indonesia. Perjanjian DCA Indonesia-Singapura meskipun kemudian ditolak menjadi bukti bagaimana para yang mengklaim nasionalis sekuler ini justru menjual negara.

Walhasil, Indonesia dan negeri Islam akan keluar dari berbagai persoalan ini, kalau kita mencampakkan dan menumbangkan ideologi Kapitalisme dalam berbagai aspeknya dan kembali pada syariah Islam. Sekali lagi hanya syariah Islam yang akan meyelamatkan Indonesia. Bukan yang lain.

Salam!

selamatkan Indonesia

selamatkan Indonesia

Blog di WordPress.com.